Menu

Mode Gelap
 

Khutbah Jum'at · 26 Nov 2024 09:16 WIB ·

Khutbah Jumat : Bekal Seorang Mukmin Menuju Kesalehan dan Ketakwaan

Perbesar

Seorang mukmin di dunia ini memerlukan bekal yang cukup untuk mengantarkannya kepada kesalehan dan ketakwaan. Ini sebuah keharusan yang selalu diingat dan diingatkan, sebab hal ini menjadi kunci kebahagiaan seorang di dunia sebelum nantinya memetik hasilnya di surga Allah Ta’ala. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi contoh teladan terbaik dalam nasihat, petunjuk, dan perbuatannya.

Mengetahui contoh teladan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi kewajiban dan kebutuhan yang tidak bisa digantikan. Allah Ta’ala berfirman:

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21)

Ternyata kehidupan beliau dipenuhi dengan permohonan dan doa. Dalam setiap aktivitasnya, beliau selalu berdoa memohon kepada Allah keberkahan, kemudahan, serta perlindungan dari-Nya. Inilah salah satu teladan yang harus kita contoh dan ikuti.

Di antara doa yang beliau selalu sampaikan kepada Allah setiap pagi adalah doa yang disampaikan Imam Ahmad dalam Musnad-nya dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya dengan sanad yang hasan dari Ummul Mukminin Ummu Salamah, istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ إِذَا صَلَّى الصُّبْحَ حِينَ يُسَلِّمُ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا.

“Sungguh Nabi dahulu, apabila selesai shalat Subuh setelah salam, beliau berdoa: Ya Allah, aku memohon kepada Engkau ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan amalan yang diterima.” (HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya no. 925; Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya no. 26602; Ath-Thayalisi dalam Musnad-nya no. 1605; Ibnu Abi Syaibah dalam Musnad-nya 10/234; Abd bin Humayd dalam Al-Muntakhab no. 1535; Abu Ya’la dalam Musnad-nya no. 6950; Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 23/686 dan Ad-Du’a no. 671; Ibnu Sunni dalam ‘Amal Al-Yaum wa Al-Lailah no. 54 dan 110; Al-Baihaqi dalam Ad-Da’awaat no. 99. Hadits ini dishahihkan oleh Al-Albani dan dihasankan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Nataij Al-Afkaar 2/312)

Bila diperhatikan, doa yang dilakukan secara disiplin oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap hari setelah menunaikan shalat Subuh, didapati sangat tepat dengan waktunya. Subuh adalah awal dan pembuka hari. Alangkah agungnya seorang muslim membuka harinya dengan berdoa menghadap Allah Ta’ala untuk memohon tiga hal ini: ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan amal saleh atau amalan yang diterima.

Di sisi lain, ketiga hal ini adalah objek yang menjadi target seorang muslim dalam satu hari. Seorang muslim hanya memiliki tiga target dalam hidupnya, yaitu memperoleh ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan amalan yang Allah terima. Seandainya kita berpikir tentang target lainnya dalam satu hari, maka semuanya tidak akan keluar dari tiga target ini. Sehingga, doa ini membuka aktivitas harian dengan mengingatkan seorang muslim tentang targetnya di hari tersebut dan mengingatkan untuk menghadap Allah dengan memohon taufik dan kemudahan mewujudkannya. Doa ini bermanfaat dari dua sisi:

1. Sisi penentuan target untuk beraktivitas di awal hari.

Sudah dimaklumi bahwa di antara sebab kesuksesan seseorang adalah menentukan target dalam pekerjaan dan amalannya serta selalu mengingat target yang jelas dan pasti yang diinginkannya. Bekerja tanpa target sama seperti berjalan tanpa tujuan, sehingga sulit untuk sukses tanpa adanya target yang jelas dan pasti.

2. Menghadap kepada Allah Ta’ala dengan berdoa memohon bantuan dan pertolongan.

Hal ini dilakukan di awal hari, kemudian diulang terus setiap harinya oleh seorang muslim. Setiap hari, seorang muslim terus memohon kepada Allah bantuan dan pertolongan untuk mewujudkan target-target agung ini, sehingga sangat mungkin doa tersebut terkabulkan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai doanya dengan meminta ilmu yang bermanfaat, yang berisikan petunjuk jelas tentang mendahulukan ilmu dan memulai dengannya. Demikianlah ilmu memang mendahului perkataan dan perbuatan, sebagaimana Allah jelaskan dalam firman-Nya:

 فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ

“Maka ketahuilah, bahwa tidak ada Ilah (Yang Hak) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu.” (QS. Muhammad: 19)

Allah memulai dengan ilmu sebelum amalan. Semua dimulai dengan ilmu. Oleh karena itu, Rasulullah memulai dan mendahulukannya atas amalan dan rezeki. Ilmu menjadi dasar landasan dalam menentukan benarnya amalan dan baiknya rezeki, sehingga ilmu menjadi pembeda antara rezeki yang baik dengan yang buruk, dan antara amalan saleh dengan selainnya.

Apabila seseorang tidak memiliki ilmu yang bermanfaat, maka ia tidak dapat membedakan perkara-perkara yang bercampur antara rezeki yang baik dan yang buruk, serta amalan saleh dan amalan buruk. Seorang tidak dapat membedakan semua itu tanpa ilmu. Oleh karena itu, ilmu sangat pantas didahulukan, mendapatkan perhatian besar, dan menjadi prioritas utama seorang muslim. Orang yang mencari rezeki tanpa ilmu dan berusaha bekerja tanpa ilmu, maka keadaannya seperti yang dijelaskan oleh Umar bin Abdul Aziz rahimahullah:

مَنْ عَبَدَ اللهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرُ مِمَّا يُصْلِحُ

“Orang yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka yang dirusaknya lebih banyak daripada yang diperbaikinya.”

Ini adalah sebuah doa yang harus disertai dengan pelaksanaan sebab-sebabnya. Seorang yang berdoa meminta ilmu yang bermanfaat hendaknya menyertainya dengan melakukan sebab-sebab untuk mendapatkan ilmu, seperti mendatangi majelis ilmu, halaqah ilmu, membaca buku, mengulang-ulang pelajaran, dan lainnya yang menjadi sarana serta jalan mencari ilmu. Doa harus diikuti dengan pelaksanaan sebab, tidak cukup sekadar tawakal atau doa saja.

Menuntut ilmu dituntut setiap harinya karena setiap hari kita meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berdoa dengan doa yang agung ini. Sehingga sudah sepantasnya seorang muslim tidak berlalu hari-harinya kecuali dengan pertambahan ilmu, belajar permasalahan dan hukumnya, menghadiri majelis ilmu, serta membaca buku-buku yang bermanfaat.

Doa beliau:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا

“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat.”

Doa ini berisikan peringatan bahwa ilmu itu ada yang bermanfaat, dan ada yang merugikan serta tidak bermanfaat. Hal ini telah diisyaratkan Allah dalam firman-Nya:

 وَٱتَّبَعُواْ مَا تَتۡلُواْ ٱلشَّيَٰطِينُ عَلَىٰ مُلۡكِ سُلَيۡمَٰنَۖ وَمَا كَفَرَ سُلَيۡمَٰنُ وَلَٰكِنَّ ٱلشَّيَٰطِينَ كَفَرُواْ يُعَلِّمُونَ ٱلنَّاسَ ٱلسِّحۡرَ وَمَآ أُنزِلَ عَلَى ٱلۡمَلَكَيۡنِ بِبَابِلَ هَٰرُوتَ وَمَٰرُوتَۚ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنۡ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَآ إِنَّمَا نَحۡنُ فِتۡنَةٞ فَلَا تَكۡفُرۡۖ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنۡهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِۦ بَيۡنَ ٱلۡمَرۡءِ وَزَوۡجِهِۦۚ وَمَا هُم بِضَآرِّينَ بِهِۦ مِنۡ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِۚ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمۡ وَلَا يَنفَعُهُمۡۚ وَلَقَدۡ عَلِمُواْ لَمَنِ ٱشۡتَرَىٰهُ مَا لَهُۥ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنۡ خَلَٰقٖۚ وَلَبِئۡسَ مَا شَرَوۡاْ بِهِۦٓ أَنفُسَهُمۡۚ لَوۡ كَانُواْ يَعۡلَمُونَ

“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudarat dengan sihirnya kepada seorang pun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudarat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Dan sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 102)

Ilmu sihir adalah salah satu ilmu yang merugikan dan tidak bermanfaat. Di zaman ini, masih banyak ilmu-ilmu yang tidak bermanfaat dan merugikan. Sedangkan ilmu yang bermanfaat akan memberikan manfaat serta faedah bagi manusia, sehingga seorang muslim harus menentukan dalam dirinya setiap hari untuk mencari dan mendapatkan ilmu yang bermanfaat.

Ilmu yang bermanfaat berkaitan dengan dua hal:

  1. Manfaat yang terdapat pada ilmu itu sendiri.
  2. Manfaat yang didapatkan oleh orang yang mempelajari ilmu tersebut.

Sebab terkadang ilmunya bermanfaat, tetapi pemiliknya tidak dapat mengambil manfaat darinya. Oleh karena itu, Rasulullah pernah berdoa dengan doa:

اللَّهُمَّ انْفَعْنِي بِمَا عَلَّمْتَنِي

“Ya Allah, berilah kemanfaatan kepadaku dengan semua yang telah Engkau ajarkan kepadaku.”

Oleh sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon kepada Allah agar dianugerahkan ilmu yang bermanfaat dalam arti manfaat dari ilmu itu sendiri dan manfaat untuk pemiliknya. Sehingga, dengan ilmu tersebut, ia dapat mengambil manfaat dan bertambah kesalehan, hidayah, ketakwaan, serta kedekatan kepada Allah.

Kemudian beliau berdoa:

وَرِزْقًا طَيِّبًا

“Dan rezeki yang baik.”

Hal ini berarti Rasulullah memohon kepada Allah agar diberikan rezeki yang halal dan baik. Dalam doa ini, terdapat anjuran dan motivasi untuk mencari rezeki yang baik setiap harinya, disertai permohonan kepada Allah agar dimudahkan. Demikian juga, doa yang diucapkan seorang muslim ini akan tertanam dan kokoh di hatinya bahwa rezeki ada dua macam: yang baik (halal) dan yang buruk (haram).

Berdasarkan hal ini, seorang muslim diwajibkan memilah-milah dan memilih rezeki yang baik sehingga makanan, minuman, dan pakaiannya berasal dari harta yang halal. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

أَيُّهَا النَّاسُ! إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا. وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بما أمر به المرسلين. فقال: {يا أيها الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بما تعملون عليم}. وقال: {يا أيها الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ}”. ثُمَّ ذَكَرَ ‌الرَّجُلَ ‌يُطِيلُ ‌السَّفَرَ. ‌أَشْعَثَ ‌أَغْبَرَ. يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ. يَا رَبِّ! يَا رَبِّ! وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِّيَ بِالْحَرَامِ. فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ؟

“Wahai manusia! Sesungguhnya Allah itu Maha Baik, dan tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan kaum mukminin dengan perintah yang sama dengan para rasul. Maka Allah berfirman: ‘Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ (QS. Al-Mukminun: 51). Dan Allah juga berfirman: ‘Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.’ (QS. Al-Baqarah: 172).”

Kemudian Rasulullah menyebutkan seorang lelaki yang melakukan perjalanan jauh, kusut dan berdebu, mengangkat tangannya ke langit sambil berkata, “Wahai Rabb! Wahai Rabb!” Namun, makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia diberi makan dari yang haram. Maka, bagaimana mungkin doanya dikabulkan?

Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Hadis ini menunjukkan bahwa amal tidak diterima dan tidak suci kecuali dengan memakan makanan yang halal. Sedangkan memakan makanan yang haram dapat merusak amal perbuatan dan membuatnya tidak diterima.” (Jaami’ul’Uluum wal Hikam 1/260 dinukil dari Ba’i’ Al-Taqsiith Ahkamuhu wa Adaabuhu, Hisyam bin Muhammad bin Sa’id Alu Barghasy, cetakan pertama tahun 1419H, Faar Al Wathon, KSA hal 10).

Demikian pula, Prof. Dr. Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-‘Abbad menjelaskan hadis ini dengan menyatakan:

“Rasulullah memulai hadis ini dengan isyarat akan bahayanya memakan barang haram, dan hal itu termasuk pencegah dikabulkannya doa. Tersirat dari hadis ini bahwa memperbaiki makanan (memakan makanan halal) menjadi salah satu sebab dikabulkannya doa.”

Sebagaimana Wahb bin Munabbih berkata: “Siapa yang ingin dikabulkan Allah doanya, maka hendaklah memperbaiki makanannya.”

Ketika Sa’ad bin Abi Waqqash ditanya tentang sebab dikabulkannya doa-doa beliau di antara para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menjawab: “Aku tidak mengangkat sesuap makanan ke mulutku kecuali aku mengetahui dari mana datangnya dan dari mana ia keluar.” (Fiqh Al-Ad’iyah wa Al-Adzkaar, bagian kedua, Prof. DR. Abdurrazaq bin Abdil Muhsin Al-‘Abaad, cetakan pertama tahun 1422H, Daar ibnu Affaan dan daar Ibnu Al Qayyim, KSA, hal 34).

Permohonan kepada Allah untuk diberikan rezeki yang baik juga berisikan permintaan untuk dijauhkan dari pintu-pintu usaha yang haram, seperti riba dan muamalah yang tidak sesuai dengan syariat.

Kemudian, Rasulullah menutup doa ini dengan:

وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا

“Dan amal yang diterima.”

Dalam riwayat lainnya disebutkan:

وَعَمَلًا صَالِحًا

“Dan amal saleh.”

Amal saleh memiliki dua sifat utama:

1. Harus dilakukan dengan ikhlas, hanya untuk Allah saja.

2. Harus sesuai dengan sunnah.

Amalan yang dilakukan dengan ikhlas dan sesuai dengan sunnah atau syariat Islam adalah amalan yang diterima. Allah tidak menerima sebuah amalan kecuali amalan yang saleh, yaitu amalan yang ikhlas dan benar, sebagaimana dijelaskan oleh Abu ‘Ali Al-Fudhail bin ‘Iyadh ketika menafsirkan firman Allah:

لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

“Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2)

Beliau berkata: “Yang paling ikhlas dan paling benar.”

Ditanyakan kepada beliau: “Wahai Abu Ali, apa itu yang paling ikhlas dan paling benar?”

Beliau menjawab: “Sungguh sebuah amalan apabila dilakukan dengan ikhlas namun tidak benar, maka tidak diterima. Dan apabila benar namun tidak ikhlas, maka tidak diterima. Sehingga, amalan itu harus benar dan dilakukan dengan ikhlas. Ikhlas itu adalah semua yang dilakukan karena Allah, dan benar itu adalah semua yang sesuai dengan sunnah.”

Semoga bermanfaat.

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.

***
Sumber : 
https://konsultasisyariah.com/44510-bekal-seorang-mukmin-menuju-kesalehan-dan-ketakwaan.html

Facebook Comments Box
Artikel ini telah dibaca 2 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Khutbah Jumat: Harta Titipan Allah, Gunakan untuk Kebaikan

26 November 2024 - 08:31 WIB

Khutbah Jumat: Menjaga Hati dari Zina dan Dampak Negatif Media Sosial

26 November 2024 - 08:20 WIB

Khutbah Jumat: 6 Adab Menghadiri Shalat Jumat

26 November 2024 - 08:15 WIB

Trending di Khutbah Jum'at