Pernikahan adalah salah satu amalan yang dianjurkan dalam Islam karena manfaatnya yang besar, baik untuk individu maupun masyarakat. Tulisan ini mengulas hukum dan hikmah pernikahan berdasarkan pandangan ulama serta dalil-dalil syar’i yang kuat.
Al-Qadhi Abu Syuja rahimahullah berkata:
النِّكَاحُ مُسْتَحَبٌّ لِمَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ، وَيَجُوزُ لِلْحُرِّ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ أَرْبَعِ حَرَائِرَ، وَلِلْعَبْدِ بَيْنَ اثْنَتَيْنِ، وَلَا يَنْكِحُ الْحُرُّ أَمَةً إِلَّا بِشَرْطَيْنِ: عَدَمِ صَدَاقِ الْحُرَّةِ، وَخَوْفِ الْعَنَتِ.
Menikah adalah amalan yang disunnahkan bagi siapa saja yang membutuhkannya. Bagi seorang yang merdeka, diperbolehkan untuk menikahi hingga empat wanita yang merdeka. Sementara itu, seorang budak hanya diizinkan menikahi hingga dua wanita. Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah.
Penjelasan:
Nikah, dalam bahasa Arab, berasal dari kata “adh-dhamm wa al-jam’u” yang berarti menyatukan atau menggabungkan dua hal. Secara terminologi, nikah adalah sebuah ikatan yang berfungsi untuk mempersatukan dua insan dalam ikatan yang sah menurut syariat.
Nikah dalam Pengertian Syariat
Secara istilah, nikah adalah sebuah akad yang di dalamnya terkandung dua aspek utama:
- Akad – yang merupakan substansi utama dari pernikahan, di mana proses ijab kabul dilaksanakan sebagai bentuk perjanjian suci.
- Kehalalan Hubungan Intim – pernikahan memberikan legalitas bagi pasangan untuk melakukan hubungan intim, yang sebelumnya tidak dibenarkan sebelum adanya akad.
Dalil disyari’atkannya nikah,
وَأَنكِحُوا اْلأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur: 32).
Disebutkan dalam hadits bahwa Allah akan senantiasa menolong orang yang ingin menjaga kesucian dirinya lewat menikah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tiga golongan yang pasti mendapat pertolongan Allah. Di antaranya,
وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ
“… seorang yang menikah karena ingin menjaga kesuciannya.” (HR. An-Nasai, no. 3218; Tirmidzi, no. 1655. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Ahmad bin Syu’aib Al Khurasani An Nasai membawakan hadits tersebut dalam Bab “Pertolongan Allah bagi orang yang nikah yang ingin menjaga kesucian dirinya”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, barang siapa yang memiliki baa-ah (kemampuan finansial) , maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (HR. Bukhari, no. 5065 dan Muslim, no. 1400).
Kebutuhan dan Kesiapan Menikah dalam Islam
Terkait nikah, manusia terbagi menjadi dua golongan:
Pertama: Yang butuh nikah (taa-iq ilan nikaah), ada yang punya kesiapan atau tidak. Jika butuh nikah dan punya kesiapan, maka dianjurkan untuk menikah. Menurut ulama Syafi’iyah dan ulama yang mumpuni lainnya, hukum nikah di sini sunnah, termasuk pula menjadi pendapat Imam Nawawi. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
“Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.” (QS. An Nisa’: 3). Di sini dikaitkan dengan yang pilihan atau yang kita sukai dan perintah wajib tidaklah dikatakan demikian. Sedangkan menurut Imam Ahmad, wajib menikah ketika khawatir terjatuh dalam zina.
Sedangkan yang butuh nikah tetapi tidak mampu akan nafkah seperti mahar, maka ia tidak menikah dan hendaklah menahan syahwatnya dengan banyak berpuasa. Jika tidak bisa tertahan dengan cara seperti itu, maka hendaklah ia memilih untuk menikah, moga saja Allah memberinya kecukupan dengan karunia-Nya.
Kedua: Tidak ada kebutuhan untuk nikah (ghoirut taa-iq ilan nikaah), ada dua keadaan: (1) tidak punya kesiapan, maka dimakruhkan untuk menikah karena jika diwajibkan sama saja membebani yang ia tidak mampu tanpa ada kebutuhan; (2) ia mendapati kesiapan finansial untuk menikah namun ia tidak butuh menikah, maka dimakruhkan pula untuk menikah (Kifayah Al-Akhyar, 2:35-36).
Hukum Nikah
Hukum pernikahan dalam Islam bisa dibedakan menjadi beberapa kategori, tergantung pada kondisi seseorang. Berikut adalah rincian hukumnya:
a. Disunnahkan atau Dianjurkan
Pernikahan disunnahkan bagi mereka yang merasa memiliki kebutuhan untuk menikah, memiliki kemampuan finansial untuk menafkahi, selama tidak khawatir terjerumus dalam zina. Dalam keadaan ini, pernikahan dianggap sebagai sunnah yang sangat dianjurkan demi menjaga kehormatan diri dan menghindari perbuatan maksiat.
b. Khilaf Al-Aula (Tidak Dianjurkan Tetapi Boleh)
Dalam situasi tertentu, menikah boleh dilakukan tetapi tidak disarankan. Hal ini terjadi jika ia belum memiliki kesiapan dari segi finansial untuk menanggung biaya nikah dan nafkah. Dalam kondisi ini, disarankan agar orang tersebut menahan diri terlebih dahulu dan disarankan untuk memperbanyak puasa sunnah sebagai cara untuk menahan diri dari dorongan hawa nafsu, sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad ﷺ.
c. Hukum Makruh untuk Menikah
Pernikahan bisa menjadi makruh atau sebaiknya dihindari apabila seseorang tidak memiliki kebutuhan mendesak untuk menikah dan juga tidak mampu menanggung biaya pernikahan serta memberikan nafkah. Dalam situasi ini, pernikahan tidak dianjurkan karena dikhawatirkan akan membawa beban tambahan yang tidak mampu ia pikul, yang akhirnya dapat mengakibatkan kesulitan dalam rumah tangga.
d. Hukum Wajib untuk Menikah
Pernikahan menjadi wajib bagi seseorang yang khawatir akan terjerumus dalam zina apabila ia tidak menikah, sedangkan ia memiliki kemampuan finansial dan kebutuhan untuk menikah. Dalam kondisi ini, pernikahan adalah jalan untuk menjaga kehormatan diri dan menunaikan kewajiban menjaga diri dari perbuatan haram.
Kriteria:
- Ada kekhawatiran akan terjerumus dalam zina
- Memiliki kebutuhan untuk menikah
- Mampu menanggung biaya pernikahan dan memberikan nafkah
e. Hukum Haram untuk Menikah
Pernikahan dianggap haram jika seseorang sadar bahwa ia tidak mampu menunaikan tanggung jawab untuk memenuhi hak-hak istri atau suami, baik dari segi nafkah maupun hal-hal lainnya yang menjadi kewajiban dalam pernikahan. Dalam situasi ini, menikah justru akan menjadi perbuatan yang tidak adil bagi pasangan dan melanggar prinsip tanggung jawab dalam pernikahan.
Kriteria:
- Tidak mampu menunaikan tanggung jawab terhadap pasangan
- Tidak dapat memenuhi hak-hak suami atau istri secara fisik maupun finansial
Kesimpulan
- Pernikahan memiliki hukum yang beragam tergantung kondisi individu, mulai dari sunnah, makruh, hingga wajib.
- Menikah bertujuan menjaga kesucian diri, memenuhi kebutuhan fitrah manusia, dan melaksanakan sunnah Rasulullah ﷺ.
- Dalam Islam, kesiapan finansial dan kemampuan menjalankan tanggung jawab menjadi syarat utama dalam menikah.
Referensi:
- Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar.
Direvisi pada 17 Jumadal Ula 1446 H, 19 November 2024, Playen Gunungkidul
Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal
Sumber https://rumaysho.com/39303-menikah-itu-disunnahkan-penjelasan-berbagai-hukum-nikah-disertai-dalil.html