Pengertian ikhlas
Tentang pengertian ikhlas, para ulama telah menjelaskannya dengan redaksi yang berbeda-beda, meskipun sebenarnya memiliki maksud yang sama. Ada yang mengatakan bahwa ikhlas adalah mengesakan Al-Haqq (Allah) dalam niat dan tujuan ketika melakukan ketaatan. Ada yang mengatakan, ikhlas adalah membersihkan perbuatan dari memperhatikan pandangan makhluk. Ada yang mengatakan, ikhlas adalah kesamaan amal perbuatan hamba secara lahir dan batin, sedangkan riya adalah perbuatan lahiriah yang lebih baik dari batinnya. Ada yang mengatakan, ikhlas adalah melupakan pandangan makhluk dengan terus memperhatikan (pandangan) Al-Khaliq, dan barangsiapa yang memperbagus diri di hadapan manusia dengan sesuatu yang tidak ada pada dirinya, maka dia akan jatuh dari pandangan Allah.
Di antara perkatan Al-Fudhail tentang hal ini, “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya, sedangkan melakukan amal karena manusia adalah syirik. Dan ikhlas adalah ketika Allah menyelamatkanmu dari keduanya.” Al-Junaid berkata, “Ikhlas adalah rahasia antara Allah dengan hamba, tidak diketahui oleh malaikat sehingga dia bisa menulisnya, tidak pula diketahui oleh setan sehingga dia bisa merusaknya, dan tidak pula diketahui oleh hawa nafsu sehingga bisa dibelokkan olehnya.” Sebagian ulama berkata, “Ikhlas adalah engkau tidak mencari saksi atas amalmu selain Allah dan engkau tidak mencari pemberi balasan selain-Nya.” (Lihat nukilan-nukilan ini dalam kitab Madarijus Salikin karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, 2: 348-350)
Dalil-dalil wajibnya ikhlas
Sangat banyak dalil, baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah, yang menjelaskan tentang wajib dan pentingnya keikhlasan seorang hamba kepada Allah.
Di antaranya, Allah berfirman,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal, mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan (mengikhlaskan) ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat. Dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Allah Ta’ala juga berfirman,
إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ
“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka, sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih (dari syirik).” (QS. Az-Zumar: 2-3)
Dan Allah berfirman,
قُلْ إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.’ ” (QS. Az-Zumar: 11)
Sedangkan dalam hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Aku adalah Zat yang paling tidak membutuhkan persekutuan. Barangsiapa melakukan suatu amalan yang dalam amalan itu dia menyekutukan selain-Ku dengan-Ku, maka Aku tinggalkan dia bersama sekutunya.” (HR. Muslim no. 2985)
Buah keikhlasan
Ikhlas merupakan perkara yang sangat utama dan memiliki buah dan faedah yang sangat banyak dan agung. Di antaranya:
Pertama: Amal akan diterima dengan adanya keikhlasan
Telah menjadi sebuah ketetapan dalam syariat Islam bahwa amal ibadah seorang hamba tidak akan diterima di sisi Allah, kecuali jika terpenuhi dua syarat padanya: kesesuaian amal dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan niat yang ikhlas dalam melakukan amal tersebut.
Al-Fudhail bin Iyadh berbicara tentang firman Allah,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2)
Beliau berkata, “Yakni, yang paling murni (ikhlas) dan paling tepat (shawab).”
Kemudian orang-orang bertanya, “Wahai Abu Ali, apa maksud yang paling murni (ikhlas) dan paling tepat (shawab)?”
Beliau berkata, “Sesungguhnya amal itu jika murni (ikhlas) namun tidak tepat (shawab), maka tidak akan diterima. Demikian pula, jika tepat (shawab) namun tidak murni (ikhlas), juga tidak akan diterima. Sampai amal itu murni (ikhlas) dan tepat (shawab). Amal yang murni (ikhlas) adalah yang ditujukan hanya untuk Allah, sedangkan yang tepat (shawab) adalah yang sesuai dengan sunah (tuntunan).”
Kemudian beliau membaca firman Allah,
فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Maka, barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia menyekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110) (Madarijus Salikin, 2: 344)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,
إِنَّ اللهَ لَا يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلَّا مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا، وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amalan kecuali yang murni untuk-Nya, dan diniatkan untuk mendapatkan wajah-Nya.” (HR. An-Nasa’i no. 3140, disahihkan Al-Albani)
Kedua: Ikhlas menjadikan amal bernilai besar
Hal itu karena Allah akan mengembangkan amalan orang yang ikhlas dan membalasnya dengan membesarkan nilainya dan memperbanyak pahalanya. Sehingga pada hari kiamat kelak, dia akan mendapatinya lebih besar dari apa yang dia sangka.
Abdullah Ibnul Mubarak berkata, “Betapa banyak amalan remeh yang menjadi besar karena niat, dan betapa banyak amalan besar yang menjadi kecil karena niat.” (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam, 1: 13)
Ketiga: Ikhlas membersihkan hati dari kotoran
Hati manusia sangat mudah berbolak-balik, memiliki banyak kesibukan, dan mudah berpaling dari kebaikan hanya karena sedikit gangguan. Maka, ikhlas akan memberikan jaminan akan kebersihan hati karena keikhlasan akan mencondongkan hati kepada Penciptanya, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ وَمُنَاصَحَةُ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَلُزُومُ جَمَاعَتِهِمْ
“Ada tiga hal yang hati seorang muslim tidak akan memiliki sifat dengki atasnya; mengikhlaskan amal kepada Allah, memberi nasihat kepada penguasa, dan menetapi jamaah kaum muslimin.” (HR. At-Tirmidzi no. 2658, lihat Ash-Shahihah no. 404)
Maksud hadis ini, bahwa tidak akan tersisa sifat dengki dalam hati selama ada tiga perangai tersebut.
Abu Sulaiman Ad-Darani berkata, “Jika seorang hamba bersikap ikhlas, niscaya akan terputus darinya banyak was-was dan sifat riya.” (Madarijus Salikin, 2: 350)
Keempat: Ikhlas menjadikan seseorang tenang dan istikamah dalam beramal saleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا رَجُلا فِيهِ شُرَكَاءُ مُتَشَاكِسُونَ وَرَجُلا سَلَمًا لِرَجُلٍ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلا الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لا يَعْلَمُونَ
“Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat dan saling berselisih, dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja). Adakah kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Az-Zumar: 29)
Dalam ayat ini, Allah memberikan perumpamaan orang yang menyekutukan Allah bagaikan seorang budak yang dimiliki oleh banyak tuan yang masing-masing tuan itu memiliki tuntutan yang berbeda, bahkan bisa jadi bertentangan dengan tuan yang lain. Maka, tentu budak yang seperti ini keadaannya tidak akan mendapatkan ketenangan sama sekali.
Adapun orang yang ikhlas, maka dia bagaikan seorang budak yang hanya dimiliki oleh seorang tuan saja. Dia tidak menghadapi tuntutan yang beraneka ragam dan saling bertentangan, sehingga dia tidak akan bingung dalam melaksanakan tugasnya. Dia akan lebih tenang dari budak yang pertama.
Ketenangan yang didapatkan seorang hamba karena keikhlasan, tentu akan lebih mendukung untuk tetap konsisten dan istikamah dalam melakukan amalan.
Kelima: Orang yang ikhlas tidak akan mudah diganggu oleh setan
Tentang hal ini, Allah Ta’ala telah berfirman,
قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ
“Iblis berkata, ‘Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlas (ikhlas) di antara mereka.’ ” (QS. Shad: 82-83)
Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’di rahimahullah menjelaskan tentang orang yang “mukhlas” adalah orang yang Allah pilih karena keikhlasan mereka, keimanan mereka, dan tawakal mereka. (Lihat Taisirul Karimir Rahman, tafsir surah Al-Hijr ayat 40)
Wallahu a’lam.
***
Penulis: Abu Ubaidillah Apri Hernowo
Artikel: Muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/100747-kewajiban-ikhlas-dan-buah-keikhlasan.html