Kemunafikan dan kekerasan hati adalah penyakit hati, tetapi keduanya tidak selalu saling terkait. Tidak semua orang yang hatinya keras adalah munafik, dan seseorang yang merasakan ada penyakit di hatinya tidak otomatis dianggap kurang ikhlas atau berbuat riya’.
Sebagai contoh, dalam hadis yang diriwayatkan dalam Shahih Tirmizi, sahabat Hanzhalah dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhuma sempat merasa takut terjebak dalam kemunafikan. Berikut bunyi hadisnya,
أنَّهُ مرَّ بأبي بَكْرٍ وَهوَ يَبكي ، فقالَ : ما لَكَ يا حَنظلةُ ؟ قالَ : نافَقَ حنظلةُ يا أبا بَكْرٍ ، نَكونُ عندَ رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ يذَكِّرُنا بالنَّارِ والجنَّةِ كأنَّا رأيَ عينٍ ، فإذا رجَعنا إلى الأزواجِ والضَّيعةُ نسينا كثيرًا قال فواللَّهِ إنَّا لكذلِكَ انطلِقْ بنا إلى رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليه و سلَّمَ فانطلقْنا فلما رآهُ فقالَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ قالَ : ما لَكَ يا حنظلةُ ؟ قالَ : نافقَ حنظلةُ يا رسولَ اللَّهِ ، نَكونُ عندَكَ تُذَكِّرُنا بالنَّارِ والجنَّةِ كأنَّا رأيَ عينٍ ، رجَعنا عافَسنا الأزواجَ والضَّيعةَ ونسينا كثيرًا ، قالَ : فقالَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ : لَو تدومونَ على الحالِ الَّتي تقومونَ بِها من عندي لصافحَتكمُ الملائِكَةُ في مجالسِكُم ، وفي طرقِكُم ، وعلى فُرُشِكُم ، ولَكِن يا حنظلةُ ساعةً وساعةً ساعةً وساعةً .
Ketika Hanzhalah bertemu dengan Abu Bakar dalam keadaan menangis, ia berkata, “Apa yang terjadi padamu, wahai Hanzhalah?” Hanzhalah menjawab, “Hanzhalah telah menjadi munafik, wahai Abu Bakar. Ketika kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau mengingatkan kami tentang neraka dan surga seakan-akan kami melihatnya dengan mata kepala sendiri. Namun, ketika kami kembali kepada keluarga dan mengurusi hal-hal duniawi, kami melupakan banyak dari hal tersebut.”
Abu Bakar berkata, “Demi Allah, kami pun merasakan hal yang sama. Mari kita pergi menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Ketika mereka menemui beliau, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Apa yang terjadi padamu, wahai Hanzhalah?” Hanzhalah menjawab, “Hanzhalah telah menjadi munafik, wahai Rasulullah. Ketika kami bersamamu, engkau mengingatkan kami tentang neraka dan surga hingga seakan-akan kami melihatnya dengan jelas. Namun, ketika kami kembali, kami tenggelam dengan urusan keluarga dan dunia, dan melupakan banyak hal.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika kalian selalu berada dalam keadaan seperti ketika bersama saya, para malaikat akan menjabat tangan kalian di majelis-majelis kalian, di jalan-jalan, dan di tempat tidur kalian. Akan tetapi, wahai Hanzhalah, ada saatnya begini dan ada saatnya begitu.” (HR. At-Tirmidzi)
Mereka merasa adanya perbedaan keadaan hati ketika bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, yang mengingatkan mereka akan surga dan neraka seolah-olah mereka melihatnya dengan mata kepala. Namun, ketika mereka kembali ke keluarga dan kehidupan sehari-hari, hati mereka mengalami penurunan dalam hal kesungguhan beribadah. Hanzhalah berkata kepada Abu Bakar bahwa ia merasa munafik. Abu Bakar pun merasa demikian, sehingga mereka pergi menemui Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam untuk mengadukan perasaan tersebut.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam kemudian menjelaskan bahwa jika mereka bisa selalu dalam keadaan yang sama seperti ketika bersama beliau, malaikat pun akan menyalami mereka. Namun, beliau menegaskan bahwa kehidupan manusia memang membutuhkan waktu untuk serius beribadah dan waktu lain untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam berkata kepada Hanzhalah, “Wahai Hanzhalah, ada waktu (untuk ibadah) dan ada waktu (untuk dunia),” yang beliau ulangi hingga tiga kali.
Artinya, seseorang tidak dianggap sebagai munafik hanya karena ada waktu di mana dia penuh kesungguhan dalam mendekatkan diri kepada Allah dengan beribadah, tadabur, dan menunaikan hak-hak-Nya. Sementara di waktu lain, ia mengalami penurunan semangat atau kesibukan dengan kebutuhan pribadinya, seperti berinteraksi dengan keluarga, anak-anak, harta, atau mengurus hal-hal duniawi.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam menjelaskan kepada mereka bahwa jika hati seseorang kadang sibuk atau keras karena kesibukan dengan urusan dunia, itu bukanlah tanda kemunafikan. Seorang muslim tidak dituntut untuk selalu berada dalam kondisi hati dan perasaan yang sama dengan saat mendengar nasihat. Jika seseorang bisa terus-menerus berada dalam keadaan hati yang penuh ketakwaan, bisa jadi ia bisa “melihat” para malaikat dan malaikat akan bersalaman dengannya di tempat tidur dan di jalan, seperti yang disampaikan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Namun, pada kenyataannya, manusia memang secara alami mengalami fluktuasi hati, antara semangat yang kuat dan saat-saat penurunan semangat.
Intinya, memiliki waktu yang penuh semangat ibadah dan waktu lain yang terasa lebih biasa adalah bagian dari sifat manusia, bukan tanda kemunafikan. Maka, seorang muslim tidak dianggap munafik hanya karena kondisinya yang berfluktuasi antara waktu yang penuh kesungguhan dalam berzikir, tadabur Al-Qur’an, dan menjalankan hak-hak Allah; dan di waktu lain ia mengalami penurunan semangat untuk beribadah sehingga ia mengalihkan perhatian pada hal-hal mubah (dibolehkan) untuk kepentingan pribadinya. Namun, dalam semua keadaan tersebut, ia tidak melakukan hal yang diharamkan atau perbuatan dosa besar.
Kewajiban seorang muslim adalah memanfaatkan masa-masa semangatnya untuk beribadah sebagai bekal bagi saat-saat ia mengalami penurunan semangat. Ketika berada dalam kondisi penurunan semangat, ia tidak boleh meninggalkan kewajiban atau jatuh dalam hal yang terlarang.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,
إنَّ لكلِّ عملٍ شِرَّةٌ ولكلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ ، فمن كانت شِرَّتُه إلى سنَّتي فقد أفلح ، ومن كانت فَتْرَتُه إلى غيرِ ذلك فقد هلكَ
“Setiap amal memiliki masa semangat, dan setiap semangat ada masa penurunannya. Barangsiapa yang pada masa penurunan semangatnya tetap mengikuti sunahku, maka ia telah beruntung. Dan barangsiapa yang pada masa itu, menyimpang darinya, maka ia akan binasa.” (HR. Ahmad dan Ibnu Khuzaimah)
Hadis ini mengajarkan bahwa meskipun semangat beribadah dapat naik dan turun, selama seorang muslim berpegang teguh pada sunah, ia berada di jalan yang benar dan dalam perlindungan Allah Ta’ala.
Ibn Al-Jauzi rahimahullah dalam bukunya Shayd Al-Khatir, pada bagian tentang mau’izhah (nasihat) dan para pendengarnya, menjelaskan bahwa terkadang hati seseorang terbangun ketika mendengar nasihat, namun setelah meninggalkan majelis tersebut, ia kembali pada kekerasan hati dan kelalaian. Setelah merenungkan hal ini, Ibn Al-Jauzi rahimahullah menyimpulkan bahwa fenomena ini terjadi karena dua hal:
Pertama, nasihat itu seperti cambuk, yakni rasa sakitnya terasa hanya saat diterima, tetapi setelah itu efeknya berkurang.
Kedua, ketika seseorang mendengarkan nasihat, hatinya dalam keadaan terbuka dan ia mengabaikan urusan dunia, fokusnya hanya pada nasihat yang didengar. Namun, begitu ia kembali ke kesibukan sehari-hari, gangguan dan distraksi dunia menariknya kembali ke keadaan lalai. Oleh karena itu, kondisi hati tidak akan sama antara saat mendengar nasihat dan setelahnya.
Beliau melanjutkan bahwa kebanyakan orang mengalami hal ini, tetapi mereka yang memiliki kepekaan hati yang kuat tetap merasakan pengaruh nasihat dalam jangka waktu yang berbeda. Ada yang teguh dan langsung mengambil tindakan, bahkan merasa terganggu jika kondisi hati mereka berubah, seperti Hanzhalah yang merasa dirinya munafik ketika merasakan kelalaian. Ada juga yang keimanannya kadang menguat dan kadang melemah, mirip dengan tangkai gandum yang bergoyang oleh angin. Dan ada pula yang nasihat hanya berdampak sementara, seperti air yang menggelinding di atas batu tanpa meresap.
Kesimpulannya, semua ini mengajarkan kita bahwa penurunan dalam intensitas keimanan bukanlah tanda kemunafikan, tetapi bagian dari sifat manusia. Kadang manusia memang ada waktunya untuk beribadah kepada Allah Ta’ala, menjalankan syariat-Nya, maka manfaatkanlah momen-momen tersebut dengan bersungguh-sungguh maksimal dalam ibadah. Dan ada pula waktu ketika selain ibadah yang bisa jadi ia pada kondisi futur, turun imannya, sibuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan, bercengkrama dengan keluarga, mencari harta, dan urusan-urusan dunia lainnya yang menyibukkan. Lalu, Nabi kita mengajarkan jika kita berada pada kondisi iman yang turun, maka tetap jalankanlah kewajiban-kewajiban, serta berpegang teguh pada sunahnya.
Baca juga: Menyikapi Pergeseran Arti “Syirik” dan “Munafik” di Masyarakat
***
Penulis: Muhammad Bimo Prasetyo
Sumber: https://muslim.or.id/100722-apakah-setiap-penyakit-kerasnya-hati-menunjukkan-tanda-kemunafikan.html