Menutup kepala adalah bagian dari tradisi berpakaian yang berbeda di setiap masyarakat. Artikel ini membahas apakah menutup kepala saat shalat atau keluar rumah termasuk sunnah berdasarkan dalil-dalil yang sahih, kebiasaan Nabi Muhammad ﷺ, dan pandangan ulama. Temukan penjelasannya untuk memahami hukum dan konteksnya dalam Islam.
Berikut adalah fatwa yang kami terjemahkan dari aliftaa.jo.
Pertanyaan:
Apakah disunnahkan menutup kepala saat shalat atau ketika keluar rumah?
Jawaban:
Tidak terdapat dalil yang sahih yang menetapkan sunnahnya menutup kepala—baik saat shalat maupun ketika keluar rumah. Namun, menutup kepala dianggap sebagai perhiasan (bagian dari tata krama berpakaian) di sebagian negara dan masyarakat, bahkan masih berlaku demikian hingga saat ini. Dalam sejarah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diketahui mengenakan sorban dan berhias dengannya.
Jika menutup kepala dianggap sebagai perhiasan dan kebiasaan yang baik di suatu daerah, maka mengenakannya saat keluar rumah—terutama untuk shalat di masjid—, hukumnya sunnah menurut syariat. Hal ini sesuai dengan perintah Allah kepada hamba-Nya untuk berhias ketika mendatangi masjid, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
يَٰبَنِىٓ ءَادَمَ خُذُوا۟ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ
“Wahai anak-anak Adam, pakailah pakaian kalian yang indah di setiap (memasuki) masjid.” (QS. Al-A’raf: 31).
Dengan demikian, hukum menutup kepala bergantung pada adat istiadat dan cara berpakaian masyarakat setempat. Jika di suatu daerah atau pada zaman tertentu menutup kepala bagi pria dianggap sebagai bentuk perhiasan, maka dianjurkan untuk melakukannya. Namun, jika hal tersebut tidak lagi dianggap sebagai bentuk perhiasan, maka tetap kembali pada hukum asalnya, yaitu mubah. Tidak ada sunnah khusus dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkait hal ini yang memberikan pahala tertentu.
Adapun kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenakan sorban dan membawa tongkat merupakan tindakan kebiasaan yang mengikuti tradisi Arab pada masa itu. Tindakan ini bukanlah bentuk ibadah yang menunjukkan kesunnahan atau patut dijadikan teladan secara hukum syari.
Imam Asy-Syathibi rahimahullah dalam kitabnya Al-Muwafaqat (2:489) mengatakan,
“Kebiasaan yang berlaku terbagi menjadi dua jenis: Pertama, kebiasaan syar’i yang ditetapkan atau ditiadakan oleh dalil syar’i. Kedua, kebiasaan yang berlaku di antara manusia tanpa ada dalil syar’i yang menetapkan atau meniadakannya… Di antaranya adalah hal yang berubah dalam kebiasaan, dari baik menjadi buruk atau sebaliknya, seperti menutup kepala. Dalam praktiknya, hal ini berbeda sesuai wilayah. Di negara-negara Timur, membuka kepala dianggap buruk bagi orang yang bermartabat, sedangkan di negara-negara Barat, hal ini tidak dianggap buruk. Oleh karena itu, hukum syari berbeda sesuai dengan perbedaan tersebut. Di negara Timur, membuka kepala dianggap mencederai kehormatan, sementara di negara Barat tidak demikian.”
Sebagian ulama fikih menyebutkan kesunnahan menutup kepala saat shalat secara mutlak. Sebagaimana disebutkan dalam Hasyiyah I’anah Ath-Thalibin (1/226) dari mazhab Syafi’i,
“Dimakruhkan membuka kepala, karena sunnahnya adalah berhias dalam shalat dengan menutup kepala dan tubuh.”
Namun, pendapat yang kami sampaikan di awal, berdasarkan pandangan Asy-Syathibi rahimahullah, lebih sesuai dengan perubahan zaman dan tempat. Hanya Allah Ta’ala yang Maha Mengetahui.
Fatwa secara lengkap kami lampirkan berikut ini.
السؤال:
هل يسن تغطية الرأس في الصلاة أو عند الخروج من البيت؟
الجواب:
لم يثبت استحباب تغطية الرأس ـ في الصلاة أو عند الخروج من المنزل ـ في الأحاديث الصحيحة، ولكن كانت تغطية الرأس زينة في بعض البلاد والمجتمعات، وما زالت كذلك، وقد ثبت أن النبي صلى الله عليه وسلم لبس العمامة وتزين بها.
فإن كانت تغطية الرأس زينة وعادة مستحبة في بلد، كان لبسها عند الخروج – وخاصة للصلاة في المسجد – مستحبا شرعا؛ لأمر الله تعالى عباده بأخذ الزينة عند الذهاب للصلاة، قال تعالى: (يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ) الأعراف/31.
فالحكم يرجع إلى اختلاف عادات الناس وطريقة لباسهم؛ فإذا كان أهل بلد أو أهل زمان يعدون تغطية الرأس للرجال زينة صار المستحب فعل ذلك، وإلا بقي على حكم الإباحة الأصلية، فليس فيه سنة خاصة عن النبي صلى الله عليه وسلم يترتب عليها أجر خاص.
وأما لبس النبي صلى الله عليه وسلم العمامة وحمله العصا فهو فعل عادي وقع على عادة العرب ذلك الزمن، وليس فعلا تشريعيا يدل على الاستحباب ولا يتأسى به الناس.
يقول الإمام الشاطبي رحمه الله في كتابه “الموافقات” (2/ 489): “العوائد المستمرة ضربان: أحدهما: العوائد الشرعية التي أقرها الدليل الشرعي أو نفاها…، والضرب الثاني: هي العوائد الجارية بين الخلق بما ليس في نفيه ولا إثباته دليل شرعي…ومنها: ما يكون متبدلا في العادة من حسن إلى قبح، وبالعكس، مثل كشف الرأس، فإنه يختلف بحسب البقاع في الواقع، فهو لذوي المروءات قبيح في البلاد المشرقية، وغير قبيح في البلاد المغربية، فالحكم الشرعي يختلف باختلاف ذلك، فيكون عند أهل المشرق قادحا في العدالة، وعند أهل المغرب غير قادح”.
وقد ذكر بعض الفقهاء استحباب ستر الرأس في الصلاة مطلقا، كما جاء في “حاشية إعانة الطالبين” (1/ 226) من كتب الشافعية: “كره كشف رأس؛ لأن السنة التجمل في صلاته بتغطية رأسه وبدنه”.
ولكن ما ذكرناه أولا عن الشاطبي رحمه الله أوفق وأنسب لتغير الزمان والمكان. والله تعالى أعلم.
Kesimpulan Rumaysho.Com: Hukum menutup kepala saat shalat atau keluar rumah bergantung pada adat istiadat setempat. Tidak ada sunnah khusus yang mewajibkan atau memberikan pahala khusus untuk menutup kepala. Namun, kami sendiri lebih memilih memakai penutup kepala saat shalat dan menganggap tidak memakainya dihukumi makruh sebagaimana pendapat ulama Syafiiyah.
Ditulis pada Senin pagi, 23 Jumadal Ula 1446 H, 25 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul
Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal