Apa perbedaan antara waris, hibah dan wasiat?
Ada pertanyaan yang biasa muncul seperti ini. Ada orang tua yang sudah membagi-bagi harta yang ia miliki kepada anak-anaknya sebelum ia meninggal dunia, apakah itu termasuk dalam waris, hibah ataukah wasiat?
Jika orang tua membagi-bagi harta kepada anak-anaknya ketika ia hidup, maka statusnya adalah sebagai hibah. Ada beberapa point penting yang perlu diingatkan tentang masalah hibah ini:
- Anak-anak dibagi hibah ketika masa hidup orang tuanya, bukan setelah matinya.
- Jika baru dimiliki setelah orang tua meninggal dunia, statusnya bukanlah hibah.
- Tidak dipersyaratkan dalam pembagian hibah mesti sama, tidak mesti juga pembagiannya mengikuti pembagian dalam hukum waris. Terserah bagi orang tua untuk membagi hibah tadi, yang jelas harus dengan adil.
Adapun jika orang tua membagi harta dan kepemilikannya nantinya setelah orang tua meninggal dunia, maka dianggap sebagai wasiat. Namun wasiat tidaklah boleh dibagi untuk ahli waris.
Dari ‘Amr bin Kharijah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ قَسَمَ لِكُلِّ وَارِثٍ نَصِيبَهُ مِنَ الْمِيرَاثِ فَلاَ يَجُوزُ لِوَارِثٍ وَصِيَّةٌ
“Sesungguhnya Allah membagi untuk setiap ahli warisnya sudah mendapatkan bagian-bagiannya. Karenanya tidak boleh ada wasiat untuk ahli waris.” (HR. Ibnu Majah, no. 2712; Tirmidzi, no. 2121. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Dari Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ فَلاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah memberikan setiap orang mendapatkan jatahnya masing-masing. Tidak ada wasiat untuk ahli waris.” (HR. Tirmidzi, no. 2713; Abu Daud, no. 2870, 3565. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Namun kalau yang diberi wasiat adalah selain ahli waris, itu boleh. Namun wasiat itu tidak boleh lebih dari sepertiga dari harta yang ditinggal sebagaimana penjelasan dari hadits Sa’ad bin Abi Waqqash berikut.
عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ عَادَنِى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – فِى حَجَّةِ الْوَدَاعِ مِنْ وَجَعٍ ، أَشْفَيْتُ مِنْهُ عَلَى الْمَوْتِ ، فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ بَلَغَ بِى مِنَ الْوَجَعِ مَا تَرَى ، وَأَنَا ذُو مَالٍ وَلاَ يَرِثُنِى إِلاَّ ابْنَةٌ لِى وَاحِدَةٌ أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَىْ مَالِى قَالَ « لاَ » . قُلْتُ أَفَأَتَصَدَّقُ بِشَطْرِهِ قَالَ « لاَ » . قُلْتُ فَالثُّلُثِ قَالَ « وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ ، إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ ، وَلَسْتَ تُنْفِقُ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ بِهَا ، حَتَّى اللُّقْمَةَ تَجْعَلُهَا فِى فِى امْرَأَتِكَ »
Dari ‘Amir bin Sa’ad, dari ayahnya, Sa’ad, ia adalah salah seorang dari sepuluh orang yang dijamin masuk surga- berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjengukku ketika haji Wada’, karena sakit keras. Aku pun berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya sakitku sangat keras sebagaimana yang engkau lihat. Sedangkan aku mempunyai harta yang cukup banyak dan yang mewarisi hanyalah seorang anak perempuan. Bolehkah saya sedekahkan 2/3 dari harta itu?” Beliau menjawab, “Tidak.” Saya bertanya lagi, “Bagaimana kalau separuhnya?” Beliau menjawab, “Tidak.” Saya bertanya lagi, “Bagaimana kalau sepertiganya?” Beliau menjawab, “Sepertiga itu banyak (atau cukup besar). Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu kaya, itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin sehingga mereka terpaksa meminta-minta kepada sesama manusia. Sesungguhnya apa yang kamu nafkahkan dengan maksud untuk mencari ridha Alah pasti kamu diberi pahala, termasuk apa yang dimakan oleh istrimu.” (HR. Bukhari, no. 4409; Muslim, no. 1628).
Misal jika ada orang tua mengatakan pada anak-anaknya, “Jika bapak meninggal, maka anak pertama silakan mengambil bagian tanah, anak kedua silakan mengambil rumah, anak ketiga silakan mengambil pabrik, anak perempuan silakan mengambil mobil.” Seperti ini adalah wasiat yang batil.
Namun jika kasus di atas yang diberikan adalah selain ahli waris, maka boleh dengan catatan tidak lebih daripada sepertiga.
Dan jika setelah meninggal dunia yang diberi adalah anak-anaknya, maka statusnya adalah waris dan dibagi menurut hukum waris, bukan dibagi sebagai wasiat.
Perlu diingat bahwa pembagian waris tadi tetap memperhatikan pembagian dalam hukum waris, bukan berdasarkan kesepakatan di antara anak-anak. Akan tetapi bisa saja anak-anak memberikan jatahnya atau bagiannya setelah waris itu dibagi dan jadi miliknya.
Kesimpulan, boleh orang tua membagikan hartanya semasa hidupnya kepada anak-anaknya namun statusnya adalah sebagai hadiah. Akan tetapi jika itu setelah kematian, maka statusnya sebagai warisan dan pembagiannya sesuai dengan jatah dalam Al-Qur’an. Adapun jika selain ahli waris, maka statusnya adalah sebagai wasiat asal tidak lebih dari sepertiga harta peninggalan.
Semoga bermanfaat.
Diselesaikan pada malam 21 Safar 1438 H @ Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal